Blogroll

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

       Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
a.      Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b.      Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
c.         Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d.      Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.      Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional.
Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.
Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa pengadilan Indonesiaenggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan yang bertentangan dengan public policyatau ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.
Adalah menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York.
Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.
Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).
Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh Negara dimana putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap sebagai putusan arbitrase domestik.


Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.
Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase adalah internasional apabila :
a.   para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
b.   tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.
Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda  kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan pasal  4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan.
Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut.
Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.
Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law
Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.

Indonesia Negara Gagal, Benarkah ???'

     Meski masih samar-samar, wacana bahwa Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara gagal (failed state) makin kencang terdengar. Setidaknya, berbagai indikasi aktual di tanah air meneguhkan wacana tersebut.
Sebuah studi kemiskinan Bank Dunia bertema Making The New Indonesia Work For The Poor menunjukkan bahwa di negara ini masih terdapat sekitar 39,1 juta orang atau sekitar 17,75 populasi masyarakat yang miskin. Artinya, angka kemiskinan di Indonesia sejak 1998 belum membaik. Jumlah orang miskin periode 1998-2006 berkisar antara 34-5O juta orang.
Tidak adanya kemajuan dalam program kemiskinan tersebut, menurut ekonom Institut for Develompment of Economic And Finance (INDEF), Iman Sugema, setidaknya bisa dilihat dari tiga sisi: income, beban hidup, dan ada tidaknya program antikemiskinan yang dibuat pemerintah.
      Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 24 Mei lalu tentunya membuat jumlah angka kemiskinan makin dinamis. Sesumbar pemerintah bahwa Bantuan Langsung Tunai (BLT) mampu menurunkan jumlah orang miskin, diragukan oleh sejumlah ekonom jika ditinjau dari sisi empirik, efektivitas, dan metodologi. Sebaliknya, kenaikan harga BBM justru diperkirakan akan menaikkan angka kemiskinan.
     Untuk angka pengangguran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur di Indonesia pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2008 mencapai 8,46% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia.
   Indikasi keamanan juga mengkhawatirkan. Kekerasan massa terhadap sesama warga negara bisa dengan mudah terjadi, seperti yang terjadi pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu di Monas Jakarta.
     Di sektor hukum, ditemukannya sejumlah uang (diduga sogokan) di kantor bea dan cukai oleh KPK, dan tertangkapnya jaksa yang diduga menerima suap yang kemudian menyeret para jaksa lainnya yang terindikasi terlibat praktik mafia peradilan, semakin meyakinkan masyarakat bahwa korupsi masih merajalela. Supremasi hukum masih jauh panggang dari api.


Indikasi
Mengutip Stoddard (Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge, 2000), ia menyebut ada empat kategori negara bangsa: kuat, lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state). Menurutnya, sebuah negara bangsa dianggap gagal jika tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik.
Rotberg (The Nature of Nation-State Failure, 2002) menyebut negara gagal dengan indikasi antara lain berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.
    Salah satu penilaian tentang negara gagal ini pernah dilakukan majalah Foreign Policy, Amerika Serikat, yang menerbitkan Indeks Negara Gagal 2007. Dari 60 negara yang paling gagal, Indonesia di urutan 55 dengan skor 84,4 (skala 81,4-113,7). Indonesia salah satu dari empat negara gagal ASEAN, selain Myanmar, Laos, dan Filipina. Indonesia masih ”kurang gagal” dibandingkan Myanmar (skor 97), Laos (87,2), dan Kamboja (85,7). Filipina (83,2) cuma setingkat lebih baik dari Indonesia, yakni di urutan ke-56. Indeks ini menggunakan 12 indikator instabilitas politik, ekonomi, militer, dan sosial sebagai alat ukurnya.
     Saya ingin menunjukkan kegagalan negara ini dari parameter yang paling konkret dan dekat, yaitu dengan melihat tujuan bangsa ini bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...,”
    Dari UUD 1945 di atas, parameter negara gagal bisa disimpulkan dalam empat pokok: keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan politik (baik dalam negeri maupun luar negeri). Maka, jika menilik pada ketidakmampuan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya dan memberikan rasa aman dari aksi premanisme, merajalelanya korupsi yang tak juga teratasi, dan masih tingginya angka anak putus sekolah (dalam catatan Organisasi Buruh Dunia [ILO] mencapai 5 juta anak), yang di antaranya karena biaya sekolah yang tinggi, bisa dikatakan Indonesia tengah memasuki gerbang negara gagal.
  Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, jika memang jalan-ekonomi yang kini diterapkan menjadi penyebab negara gagal, patut dipikir ulang mengenai jalan alternatif lain yang mungkin ditempuh. Jika kebijakan ekonomi neo-liberal yang, agaknya, menjadi kecenderungan kebijakan ekonomi pemerintahan sekarang, yang naga-naganya makin menjauhkan rakyat dari kemakmuran, maka jalan negara kesejahteraan layak dipertimbangkan. Negara kesejahteraan adalah negara yang secara aktif mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui jaminan sosial, kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan.
    Kedua, memperkuat elemen-elemen fundamental pemerintah. Negara kuat bukan berarti negara harus otoriter, melainkan negara yang menjalankan undang-undang dan menegakkan hukum secara konsisten, tegas, tanpa kompromi dan diskriminasi. Karena dengan jalan inilah, korupsi, premanisme, dan berbagai upaya menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara serta upaya membajak kepentingan umum menjadi kepentingan kelompok dan golongan tertentu dapat dihindari.

Cacat Dalam Undang-Undang KPK

   Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi memperlihatkan kemajuan berarti. Di pengadilan umum, Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa pada rentang 2005-2008 terdapat 1.421 terdakwa dalam kasus korupsi. Sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama kurun 2008, menangani 31 perkara korupsi yang semua terdakwanya divonis bersalah. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi, ujung tombak pemberantasan korupsi tersebut adalah kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
      Namun, meski telah memberikan kontribusi besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat satu ganjalan yang membuat UU PTPK cacat dan terbuka bagi uji materiil. Cacat dimaksud adalah soal delik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap, yang diatur tiga kali: Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf (a), dengan ancaman hukuman yang berbeda-beda.
     Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU PTPK memiliki maksud yang sama dan ancaman pidana yang sama, yaitu paling singkat satu tahun penjara dan paling lama lima tahun penjara dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah, bagi penyelenggara negara yang menerima suap.
     Lebih jelasnya, rumusan lengkap Pasal 11 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.”
Akan tetapi, pada Pasal 12 huruf (a), delik tersebut dirumuskan lagi dengan pidana yang sangat jauh lebih berat. Hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu miliar rupiah, bagi: (a) “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”
    Tampak jelas sekali bagaimana Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 berbeda ancaman hukumannya dengan Pasal 12 huruf (a), padahal ketiganya mengatur delik pidana yang sama—yang unsur-unsurnya, sesungguhnya, secara substansial tidak ada perbedaan. Pertanyaannya, apa lantas implikasi pasal-pasal yang berbeda tersebut?
Contoh sederhana adalah jika ada dua orang pejabat negara menerima suap, sangat mungkin terjadi yang satu dikenai Pasal 12 huruf (a) dan yang satu lagi dikenai Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 yang lebih ringan. Maka, terjadilah penerapan hukum yang berbeda: dua terdakwa yang didakwa dengan tindak pidana yang sama dalam keadaan yang sama dikenai peraturan hukum yang berbeda. Penerapan ini melanggar hak asasi manusia tentang prinsip kepastian hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum.


    Sebagaimana diketahui, jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum telah termaktub dalam bab hak asasi manusia UUD 1945 Pasal 28-D ayat 1: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Juga, diatur pula dalam Pasal 28-I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
     Implikasi lain, penerapan hukum yang berbeda tersebut juga menyulitkan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaannya. Padahal, berdasarkan Pasal 51 huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa berhak mengetahui dengan jelas apa yang didakwakan terhadapnya.
Selain penyelenggara negara, kekeliruan dalam UU PTPK juga terjadi dalam pasalpasal yang mengatur hakim yang menerima suap. Dalam undang-undang tersebut, hakim yang menerima suap diatur dua kali, yang satu dalam Pasal 6 ayat 2 dan yang lain dalam Pasal 12 huruf (c), dengan ancaman pidana berbeda. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan: bagaimana jika ada dua hakim menerima suap, hakim A dituntut berdasarkan Pasal 6 ayat 2 yang lebih ringan pidananya, sedangkan hakim B dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf (c) yang pidananya lebih berat? Lagi-lagi, prinsip semua orang sama di depan hukum dilanggar.
    Lantas, dengan adanya keganjilan dalam UU PTPK tersebut, apa yang bisa dilakukan? Solusi konstitusional yang paling mungkin ditempuh adalah mengajukan uji materiil atas pasal-pasal bermasalah atau kontradiktif tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Di sanalah pasal-pasal tersebut akan diuji apakah melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 atau tidak.
Bagaimanapun, satu hal penting yang harus disadari adalah bahwa selain asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), prinsip dasar hukum kita mengenal dan mengakui bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law). Bagi terdakwa, prinsip ini menjadi landasan bagi kedudukan hukum yang sama antara terdakwa dan pejabat pemeriksa atau penegak hukum. Prinsip dasar tersebut menjadi rambu- rambu bagi para penegak hukum, agar tidak menggunakan cara-cara melawan hukum atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Prinsip itu juga menjadi jaminan agar hak-hak hukum terdakwa tidak lantas sirna meskipun dirinya dikenai dakwaan hukum seberapa pun beratnya.
Penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, mestilah tegak di atas caracara yang menghargai dan mengakui hakhak asasi manusia setiap terdakwa sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di muka hukum, dan bebas diskriminasi adalah prinsip-prinsip dasar yang tak boleh terlanggar dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi memperlihatkan kemajuan berarti. Di pengadilan umum, Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa pada rentang 2005-2008 terdapat 1.421 terdakwa dalam kasus korupsi. Sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama kurun 2008, menangani 31 perkara korupsi yang semua terdakwanya divonis bersalah. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi, ujung tombak pemberantasan korupsi tersebut adalah kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Namun, meski telah memberikan kontribusi besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat satu ganjalan yang membuat UU PTPK cacat dan terbuka bagi uji materiil. Cacat dimaksud adalah soal delik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap, yang diatur tiga kali: Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf (a), dengan ancaman hukuman yang berbeda-beda.
Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU PTPK memiliki maksud yang sama dan ancaman pidana yang sama, yaitu paling singkat satu tahun penjara dan paling lama lima tahun penjara dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah, bagi penyelenggara negara yang menerima suap.
     Lebih jelasnya, rumusan lengkap Pasal 11 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.”
    Akan tetapi, pada Pasal 12 huruf (a), delik tersebut dirumuskan lagi dengan pidana yang sangat jauh lebih berat. Hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu miliar rupiah, bagi: (a) “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”


    Tampak jelas sekali bagaimana Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 berbeda ancaman hukumannya dengan Pasal 12 huruf (a), padahal ketiganya mengatur delik pidana yang sama-yang unsur-unsurnya, sesungguhnya, secara substansial tidak ada perbedaan. Pertanyaannya, apa lantas implikasi pasal-pasal yang berbeda tersebut?
    Contoh sederhana adalah jika ada dua orang pejabat negara menerima suap, sangat mungkin terjadi yang satu dikenai Pasal 12 huruf (a) dan yang satu lagi dikenai Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 yang lebih ringan. Maka, terjadilah penerapan hukum yang berbeda: dua terdakwa yang didakwa dengan tindak pidana yang sama dalam keadaan yang sama dikenai peraturan hukum yang berbeda. Penerapan ini melanggar hak asasi manusia tentang prinsip kepastian hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum.
    Sebagaimana diketahui, jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum telah termaktub dalam bab hak asasi manusia UUD 1945 Pasal 28-D ayat 1: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Juga, diatur pula dalam Pasal 28-I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
    Implikasi lain, penerapan hukum yang berbeda tersebut juga menyulitkan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaannya. Padahal, berdasarkan Pasal 51 huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa berhak mengetahui dengan jelas apa yang didakwakan terhadapnya.
    Selain penyelenggara negara, kekeliruan dalam UU PTPK juga terjadi dalam pasal-pasal yang mengatur hakim yang menerima suap. Dalam undang-undang tersebut, hakim yang menerima suap diatur dua kali, yang satu dalam Pasal 6 ayat 2 dan yang lain dalam Pasal 12 huruf (c), dengan ancaman pidana berbeda. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan: bagaimana jika ada dua hakim menerima suap, hakim A dituntut berdasarkan Pasal 6 ayat 2 yang lebih ringan pidananya, sedangkan hakim B dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf (c) yang pidananya lebih berat? Lagi-lagi, prinsip semua orang sama di depan hukum dilanggar.
Lantas, dengan adanya keganjilan dalam UU PTPK tersebut, apa yang bisa dilakukan? Solusi konstitusional yang paling mungkin ditempuh adalah mengajukan uji materiil atas pasal-pasal bermasalah atau kontradiktif tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Di sanalah pasal-pasal tersebut akan diuji apakah melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 atau tidak.
    Bagaimanapun, satu hal penting yang harus disadari adalah bahwa selain asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), prinsip dasar hukum kita mengenal dan mengakui bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law). Bagi terdakwa, prinsip ini menjadi landasan bagi kedudukan hukum yang sama antara terdakwa dan pejabat pemeriksa atau penegak hukum. Prinsip dasar tersebut menjadi rambu- rambu bagi para penegak hukum, agar tidak menggunakan cara-cara melawan hukum atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Prinsip itu juga menjadi jaminan agar hak-hak hukum terdakwa tidak lantas sirna meskipun dirinya dikenai dakwaan hukum seberapa pun beratnya.
Penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, mestilah tegak di atas caracara yang menghargai dan mengakui hakhak asasi manusia setiap terdakwa sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di muka hukum, dan bebas diskriminasi adalah prinsip-prinsip dasar yang tak boleh terlanggar dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

KPK Nyaris Mandul


   Lambat-laun makin kentara: komitmen para anggota legislatif dalam pemberantasan korupsi memang hanya sebatas "hangat-hangat kuku", kalau bukan setengah hati. Apa indikasinya? Mereka, agaknya, sengaja membuat nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkatung-katung. Padahal untuk UU lain, UU Pornografi, misalnya, mereka bekerja bak dikejar setoran. Tapi, entahlah, untuk RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hasrat menggebu untuk membahas dan segera mengesahkannya nyaris tak dijumpai.
     Fakta ini makin menegaskan dugaan adanya, tak hanya ketidakseriusan, tapi juga sikap tidak senang dan antipati anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini akan menjadi fondasi konstitusional bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang kini sudah berjalan. Jika RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini tak kunjung disahkan pada 19 Desember mendatang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dilikuidasi. Imbasnya, KPK akan menjadi "macan ompong": tak punya pengadilan yang akan menjadi muara untuk kasus-kasus yang ditanganinya. Ini sama saja dengan membonsai peran dan keberadaan KPK.
    Persoalan bermula dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006, yang membatalkan pasal mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hakim konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie meminta agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU tersendiri, bukan sebagai bagian dari UU KPK.
    Putusan tersebut dibuat untuk menjawab gugatan uji materiil UU KPK yang diajukan dua terdakwa kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W, Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta gugatan yang diajukan Tarcisius Walla, terpidana korupsi pengadaan tanah pembangunan Pelabuhan Danar di Tual, Maluku Tenggara. Pembatalan itu memang tidak secara otomatis membuat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bubar. Mahkamah Konstitusi memberi waktu tiga tahun untuk masa transisi, yaitu hingga 19 Desember 2009. Pada masa peralihan itu, Presiden dan DPR diharapkan sudah menghasilkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
    Tapi, faktanya, hingga hari ini DPR belum juga menuntaskan pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Mengingat pendeknya waktu menjelang Pemilihan Umum 9 April mendatang, cukup beralasan jika banyak pihak menyangsikan RUU tersebut akan selesai sebelum Pemilu. Apalagi banyak anggota DPR kini sibuk karena kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR, terutama dengan turun langsung ke daerah-daerah pemilihannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan penentuan calon legislator terpilih berdasarkan suara terbanyak.


Prestasi KPK
    Mengapa DPR setengah hati menggarap RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Dasar dugaan ketidakseriusan anggota DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memang cukup kuat: KPK dinilai banyak pihak berhasil menjalankan tugasnya memberantas korupsi.  
   Prestasi KPK cukup mengancam mereka yang tak suka melihat negeri ini bersih dari korupsi. Dari segi kuantitas, mulai 2004 hingga 2008, jumlah kasus yang ditangani KPK memang hanya 110 kasus. Angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan data dari Kejaksaan Agung yang jumlahnya lebih dari 3.000 kasus.
   Tapi, dari segi kualitas, KPK justru membuat publik berlega hati: tak ada satu pun kasus yang sudah masuk tahap penyidikan KPK tidak berhasil dibawa ke pengadilan. Bahkan terdakwa dalam keseluruhan kasus yang disidangkan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bersalah, dari anggota DPR, mantan menteri, para petinggi Bank Indonesia, sampai besan presiden yang kini berkuasa, Aulia Pohan, dapat dijadikan tersangka.
    Ini sangat berbeda dengan penanganan korupsi di pengadilan umum, yang tak jarang tersangkanya divonis bebas atau ringan. Akibatnya, tingkat kepercayaan terhadap pengadilan umum dalam menangani korupsi sangat diragukan. Tengoklah hasil pantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch pada 2005-2008: dari 1.421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan umum. Sedangkan rata-rata vonis yang diberikan kepada para tersangka hanya 5,8 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia.
   Sementara itu, untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama 2008, dari 31 kasus korupsi yang ditanganinya, tak ada satu orang pun yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan para hakim Tindak Pidana Korupsi pun rata-rata 4 tahun 2 bulan penjara. Yang membuat anggota DPR ketar-ketir, sebagian pelaku korupsi yang diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah teman mereka sesama anggota wakil rakyat. Bak senjata makan tuan, KPK yang mereka bentuk justru menyerang lembaga dan teman mereka sendiri. Tak aneh jika resistensi terhadap KPK pun diam-diam membatu dan membuahkan skenario pemandulan KPK dengan mengulur-ulur RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga berakhirnya batas yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
Tentu para anggota DPR tak ingin disebut "pengkhianat" amanat rakyat untuk memberantas korupsi. DPR periode 2004-2009 juga pastinya tak ingin dikenang dalam sejarah sebagai musuh pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, tak hanya dibutuhkan sangkalan lisan dan silat lidah bahwa tak benar mereka membuat nasib RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi "termehek-mehek" dalam ketidakpastian. Sebaliknya yang dinantikan adalah kesigapan bertindak: segera mengagendakan, membahas, dan akhirnya mengesahkan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
   Jika sampai 19 Desember 2009 RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak kunjung disahkan, tak hanya menjadi jelas bagaimana komitmen wakil rakyat kita dalam pemberantasan korupsi, tapi juga makin terang-benderanglah siapa sesungguhnya yang tengah duduk di kursi gedung DPR Senayan itu.

Advokat dan Mafia Peradilan

      Bagaimanakah memutus rantai “mafia peradilan” yang telah menggurita di negeri ini? Artikel ini setidaknya bisa menjadi catatan kecil bagi Kongres Advokat Indonesia yang akan dilaksanakan akhir Mei mendatang.
   Jangka sepuluh tahun reformasi belum memberi arti pada pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum di Indonesia: reformasi hukum masih menjadi masalah krusial dan mencemaskan. Meski perlahan-lahan kasus korupsi terkuak dan pelakunya berhasil disidangkan, namun jumlahnya belumlah seberapa dibanding besarnya gunung es kasus KKN yang melanda negeri ini.
   Terkuaknya satu-dua oknum mafia peradilan, seperti yang terlihat dari tertangkap tangannya seorang jaksa yang dituduh menerima suap, belum membuat kita menarik nafas lega: gurita mafia peradilan yang sebenarnya (hakim, jaksa, advokat, polisi, dan pelaku penyuapan), masih belum tersingkap jelas.
November 1828, film terbaik FFI tahun 1979, arahan sutradara legendaris Teguh Karya yang mengambil tema dan latar seputar Perang Diponegoro, yang sarat dengan nilai perjuangan, kebangsaan, pengorbanan, dan kejujuran bisa memberi inspirasi. Simaklah ucapan sang tokoh utama, Kromo Ludiro, kepada anak perempuan sulungnya, Laras: “...Sebuah pademangan, jika terdiri dari banyak maling, akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa terdiri. Sebuah kabupaten, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan, jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk, sebagian besar terdiri dari maling, lebih baik tanah Jawa ini tenggelam ke dasar laut.
Rantai “mafia peradilan
   Kita butuh loncatan besar: terobosan yang berani dan terstruktur dalam upaya pemberantasan “maling” (koruptor), agar negeri ini mampu “berdiri kokoh” dan tidak “tenggelam ke dasar laut” sebagaimana diisyaratkan tokoh Kromo Ludiro di atas. Pangkal tolaknya memang berada pada penguasa, tapi kita juga tak dapat menutup mata bahwa korupsi terjadi karena moralitas jahat yang bersemayam dalam tubuh masyarakat kita. Perubahan memang harus dilakukan. Tapi dari mana?
Jawabannya bisa dimulai dari mengurai dan memutus rantai mafia peradilan. Ungkapan Goenawan Mohamad dalam esai catatan pinggirnya tentang sandiwara di sebuah pengadilan mungkin bisa menggambarkan maksud istilah “mafia peradilan” itu: “Hakim berpura-pura tertib, tapi yang nongkrong adalah yang punya kekuatan. Peraturan dan hukum hanya sebuah kemasan. Selebih: para petugas uang, koneksi.”
Satu mata rantai mafia peradilan yang kita tuju di sini adalah para advokat. Merekalah yang terkadang menjadi jembatan penghubung antara tersangka/terdakwa dengan jaksa, polisi, bahkan hakim. Sayangnya, keberhasilan advokat dalam membela tersangka/terdakwa seringkali bukan karena kepiawaian mereka dalam mengungkap kebenaran, tapi justru didasari oleh kemampuannya menjadi perantara praktik suap-menyuap. Meski tidak semua advokat berperilaku demikian, namun jumlah mereka yang terlibat dalam mafia peradilan tidak bisa dibilang sedikit.
Walhasil, wajar bila advokat turut dipersalahkan dalam menyokong mafia peradilan, karena fungsinya sebagai pembela hukum dan kebenaran justru berbalik: berkhidmat pada “kemenangan” yang menggunakan segala cara. Padahal, keberadaan advokat terkait erat dengan fungsinya sebagai “pengawal” kelangsungan negara hukum yang menjadi cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Maka, layak bila kita pertanyakan kembali peran dan sumbangsih para advokat bagi pemberantasan korupsi dan penegakan supremasi hukum di Indonesia?
Berkaca pada sejarah
   Tinta emas sejarah para advokat di Indonesia tercatat ketika berdiri Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun 1964, di bawah kepengurusan Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, dan Adnan Buyung Nasution—untuk menyebut beberapa nama. Di sanalah kita bisa melihat peran sejati dan strategis advokat Indonesia yang otonom dan independen dalam memperjuangkan hak masyarakat vis a vis negara. Ini dilatari oleh kesadaran akan fungsi advokat sebagai penjaga hukum dari penyalahgunaannya oleh penguasa. Keberanian Peradin dalam memprotes Kopkamtib, membela anggota PKI, mengkritik Keppres dan Inpres yang bertentangan dengan konstitusi, adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Meski “ditakuti” dan dibenci rezim Soeharto, Peradin justru dikenal di dunia internasional sebagai the real guardian of the constitution.
    Namun, ketidaksesuaian antara nilai (cita-cita dan tujuan) dan perilaku advokat kini membuat noktah emas sejarah tersebut nyaris terlupakan. Kenyataan itu diperparah oleh keberadaan organisasi advokat yang tak lagi beristiqamah di gerbong terdepan perubahan sosial-politik di tanah air, melainkan jatuh menjadi sekadar kelompok profesional yang “mencari nafkah” di bidang hukum, yang kadang justru turut serta dalam praktik mafia peradilan. Berdirinya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Desember 2004, diikuti oleh konflik antarorganisasi dan konflik internal dalam organisasinya, membuat kiprah advokat makin tidak populer.
   Masyarakat tentunya berharap spirit perjuangan yang pernah dijejakkan para advokat di masa-masa awal Orde Baru itu kembali direvitalisasi dan direkonstruksi dalam rangka penegakan keadilan di negeri ini. Spirit perlawanan terhadap ketidakadilan sebagaimana dimotori Peradin merupakan “obor” yang menjadi penunjuk jalan bagi para advokat sekarang untuk meneruskan agenda reformasi hukum yang terseok-seok.
   Setidaknya, “obor” itu akan menerangi pandangan para advokat Indonesia sehingga dapat melihat kerinduan masyarakat akan hadirnya advokat yang bersuara lantang dalam pemberantasan korupsi. Yang paling fundamental adalah menghilangkan kesenjangan antara idealisme dan perilaku. Upaya itu meliputi ikhtiar keluar dari lingkaran setan mafia peradilan dengan pelayanan dan pengabdian yang penuh kepada keadilan, bukan pada uang dan ketenaran. Dan itu, hanya mungkin terjadi ketika para advokat saling mengawasi perilaku sejawat profesinya dan memiliki wadah tunggal yang bisa menindak tegas para advokat yang berlaku menyimpang dari kode etik.
   Jika advokat dapat segera menyadari posisi dan perannya dalam reformasi hukum di Indonesia yang terlunta-lunta ini, maka bolehlah kita bernafas lega bahwa pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia akan dapat berjalan sesuai yang diamanatkan reformasi sepuluh tahun lampau. Dan para advokat akan layak untuk menyebut dirinya sebagai officium nobile, profesi yang mulia. Jika tidak, rakyat Indonesia harus bersiap menapaki jalan panjang menuju masyarakat adil dan sejahtera yang, naga-naganya, masih samar-samar bahkan mungkin menuju kegelapan.
   Sebab, makin kentara bahwa perlahan tapi pasti gunung es korupsi di negeri ini segera mencair: satu persatu kasus korupsi besar tertumpuk di bawah meja aparat hukum dan lantas terlupakan, yang parahnya, oleh kita sendiri. Bersyukur ada lagu Gosip Jalanan yang bisa mengingatkan kembali.

Facebook Twitter RSS